Duka yang begitu mendalam sempat mengisi hidup Abah Parna. Istri tercintanya meninggal dunia, kini Abah harus hidup seorang diri disebuah kamar ukuran 3x4 meter. Milik tetangganya, karena rumah yang Abah miliki harus dijual untuk biaya pemakaman almarhum istri tercintanya.

Semenjak istri tercintanya meninggal dunia, kini Abah Parna (64 tahun) harus hidup seorang diri. Mengisi hari-harinya dengan menjadi buruh raut bambu.

Tangan rentanya penuh luka akibat goresan bambu. Tatapannya kosong. Rasa lapar dan haus dirasakannya setiap hari. Dalam sehari ia diupah 10 ribu dari jasanya membantu meraut bambu. Namun pekerjaan itu pun tak setiap hari Abah dapatkan. Tak jarang pula ia mengumpulkan sampah untuk ia jual kembali dengan harga seribu rupiah perkilo.

.

Kalau tak ada uang untuk membeli beras, Abah Parna mengambil daun singkong yang tumbuh disekitar gubuknya, kemudian direbus untuk dimakan.

.

Jika rasa sakit melanda, Abah hanya bisa merintih menahan rasa sakit, sambil memanggil-manggil almarhum istri tercintanya yang telah tiada. 

Ditengah keterbatasannya, Abah tetap ingat kepada sang maha pencipta. Doa-doa kebaikan pun terus dilangitkan agar senantiasa diberikan kesehatan.

Hidangan yang paling lezat yang biasa Abah Parna santap adalah nasi yang dicampur dengan garam. Ia makan seorang diri dipinggir kandang ayam milik tetangganya sambil terus mengenang istri tercintanya yang telah tiada.

.

Sahabat kebaikan, Abah Parna adalah sosok lansia yang saat ini sedang berjuang untuk bertahan hidup disisa usianya.