Kalau boleh.. 

Faisal bisa aja nanya, “Ya Allah.. Kenapa Ayah harus meninggal duluan? Kenapa harus aku yang jadi tulang punggung? Kenapa aku yang harus putus sekolah tapi 2 adikku bisa sekolah?” 

Tapi tangisan di depan makam Ayahnya itu hanya untuk meredakan emosinya saja. Karena kenyataan hidupnya tak bisa lagi diubah. Faisal harus maju! Harus terus jalani hidup ini. 

Tidak ada anak yang tidak terpukul kala melihat orang tuanya terbujur kaku dibungkus kain kafan. Pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya tiba-tiba menyerang. 

“Bagaimana hidupku nanti tanpa Ayah?” 

“Siapa yang akan bekerja untuk cari uang makan kalau bukan Ayah?” 

“Siapa yang akan melindungi keluarga ini kalau tanpa Ayah?” 

“Bagaimana nasib aku dan keluargaku?” 

Peristiwa meninggalnya Ayah buat Faisal, Si Sulung sangat terpukul dan kebingungan. Kejadian itu belum lama setelah kaki Ibunya harus diamputasi karena diabetes. 

Akibatnya Ibunya lumpuh tak bisa apa-apa. Segala urusan pribadi harus dilayani Faisal. 

Belum lagi persoalan sekolah. 

Dengan berat hati Faisal rela mengorbankan masa depannya. Putus sekolah! Menjelma jadi tulang punggung pengganti Ayah demi Ibu dan 2 adiknya. 

Faisal rela bekerja serabutan. Mulai jadi buruh pabrik sale, mulung rongsok, bahkan sampai tukang parkir. Tubuhnya dipaksa tegap dan kuat karena keadaan. 

Umurnya belum dewasa tapi kondisi memaksa dia dewasa jauh melebihi angka usianya. 

Namun tekad kuatnya tak bisa digambarkan. Dari 3 anak Ayah-Ibu setidaknya jangan sampai ketiganya gagal dan putus sekolah. Faisal berkorban putus sekolah dan kerja serabutan agar 2 adiknya tak putus sekolah. 

***

Sahabat, maukah kamu patungan donasi untuk ringankan beban Faisal? Yuk klik tombol "Donasi Sekarang"